KAJIAN RINGKAS SYARIAT ISLAM
DAN FIQIH
Pendidikan Islam - Hukum Islam by admin on 30 September 2014
Syariat menurut bahasa ialah : tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia dan hewan guna meminum air. Menurut istilah ialah : hukum-hukum dan aturan yang Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama manusia. Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu syari’at tertuju kepada hukum yang didatangkan al-qur’an dan rasulnya, kemudian yang disepakati para sahabat dari hukum hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash dari al-qur’an atau as-sunnah. Kemudian hukum yang diistimbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantaraan qiyas, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[1]
Tasyri ialah lafadl yang diambil dari kata syari’at yang diantara maknanya dalam pandangan orang Arab ialah ; jalan yang lurus dan yang dipergunakan oleh ahli fikih islam untuk nama bagi hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi hambanya dan dituangkan dengan perantaraan rasul-Nya agar mereka mengerjakan dengan penuh keimanan baik hukum-hukum itu berkaitan dengan perbuatan ataupun dengan aqidah maupun dengan akhlak budi pekerti. dan dinamakan dengan makna ini dipetik kalimat tasyri yang berarti menciptakan undang-undang dan membuat qaidah-qaidah Nya, maka tasyri menurut pengertian ini ialah membuat undang-undang baik undang-undang itu datang dari agama dan dinamakan tasyri samawi atau pun dari perbuatan manusia dan pikiran mereka dinamakan tasyri wadl’i. [2]
Syari’at seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu terdapat di dalam al-Qur’an Dan kitab kitab Hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah
Apabila diihat dari segi ilmu hukum, maka syari’at merupakan dasar-dasar hukumyang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib diikuti oleh orang islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubunganya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rosul-Nya. Karena itu, syariat terdapat didalam al qur an dan di dalam kitab kitab Hadits.
Menurut Sunnah Nabi Muhammad, ummat islam tiak akan pernah sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[3]
Dengan perkataan lain, ummat islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman lhidup, tolok ukur hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang sahih.
Karena norma-norma dasar yang terdapat di dalam AL Quran itu masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh nabi Muhammad terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat, norma-norma dasar yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan penggolongan norma-norma dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah lebih konkrit agar dapat dilaksanakan dalam praktek, memerlukan disiplin dan cara – cara tertentu.
Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dimaksud. Dalam kepustakaan, ilmu tersebut dinamakan ilmu fiqih yang ke dalam bahasa indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum islam. Ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari atau memahami syari’at dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf yaitu manusia yang berkewajiban melaksanakan hukum islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang faham tentang ilmu fikih disebut fakih ataufukaha (jamaknya). Artinya ahli atau para ahli hukum islam.[4]
Kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan syari’at seperti telah disebut di atas adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan dengan agama. Oleh karena itu, jika orang berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksudnya adalah hukum agama yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rosul-Nya, yakni hukum syari’at. Dari perkataan syari’at ini lahir kemudian perkataan tasyri’, artinya pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu dan sunnah yang disebut tasyri’ samawi dalam kepustakaan (samawi = langit), dan peraturan perundang–undangan yang bersumber dari pemikiran manusia, yang disebut tasyri’ wadh’i (wadha’a = membuat sesuatu menjadi lebih jelas dengan karya manusia). Membicarakan soal pemikiran atau penalaran manusia dalam bidang hukum, kita telah membicarakan soal fiqih.
Referensi :
F I Q I H
1. Pengertian Fiqih
Fiqih
ialah mengetahui sesuatu memahaminya dan menanggapnya dengan sempurna.[5]
Di
dalam bahasa Arab, perkataan fiqih yang di dalam bahasa
Indonesia ditulis fikih atau fiqih atau
kadang–kadang feqih, artinya faham atau pengertian. Kalau
dihubungkan perkataan ilmu tersebut di atas, dalam hubungan ini dapat juga
dirumuskan, ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma dasar dan ketentuan- ketentuan umum yang terdapat di dalam
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam dalam kitab-kitab Hadits.
Dengan kata lain, ilmu fikih, selain rumusan di atas, adalah ilmu
yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah
nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia
yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan
hukum islam. [6]
Pengertian
Fiqih menurut sebagian para ulama adalah :
“Hukum-hukum syara-syara yang diperlukan
kedalam renungan yang mendalam, pemahaman dari ijtihad.[7]
Menurut
pendapat sayid Ridla :
Dan
banyak dalam al-qur’an sebutan kalimat Fiqih yaitu faham yang mendalam yang
amat halus bagi segenap haqiqat yang dengan mengetahui Fiqih. Itulah para alim
menjadi hakim yang sempurna lagi amat teguh.[8]
Hasil
pemahaman tentang hukum islam itu disusun secara sistematis dalam kitab
fiqih dan disebut hukum fiqih. Contoh hukum fiqih islam yang ditulis
dalam bahasa Indonesia oleh orang Indonesia adalah, misalnya, Fiqih
islam karya H. Sulaiman Rasjid yang sejak di
terbitkan pertama kali tahun 1954 sampai kini (1990) telah puluhan kali dicetak
ulang. Beberapa kitab hukum fikih yang ditulis dalam bahasa Indonesia .
Diantaranya adalah karya Mohammad Idris as-Syafi’i, salah seorang
pendiri mazhab hukum fikih islam, yang bernama : al-Um, artinya
(kitab) Induk.[9]
Fiqih
arti asal katanya Paham. Disini Fiqih merupakan pemahaman terhadap ilmu yang
berupa wahyu (yaitu al-qur’an dan al-hadits sahih). Jadi Fiqih sebagai
suplemen dan sekaligus perbedaan prinsip dengan ilmu. Kelanjutan pengertian
seperti ini adalah bahwa fiqih identik dengan al-ra’yi yang menjadi
kebalikan ilmu tadi. Pengertian Fiqih yang demikian kemudian berkembang menjadi
berarti ilmu agama. Atau ilmu yang berdasar agama yakni fase kedua. Dalam fase
ini Fiqih mencakup kepada semua jenis, termasuk akidah tasawuf, dan
lain-lain. Kitab al-Fiqih akbar karya Abu Hanifah sama sekali tidak
menyinggung hukum, namun isinya adalah hal-hal yang berkaitan dengan akidah .
pada akhirnya pada fase ketiga Fiqih difahami sebagai disiplin hukum
Islam. Kalau pada awalnya Fiqih itu alat untuk memahami atau untuk
mengkaji dalam fase tarkhir ini Fiqih menjadi sosok objek kajian. Suatu
disiplin yang dikaji tidak lagi alat apalagi suatu proses. Fiqih berarti hukum
Islam atau ada pula yang menyebut sebagai hukum positif Islam, oleh karena
adanya dominasi akal manusia dalam memahami wahyu. [10]
Dalam
kenyataannya meskipun Fiqih bisa diartikan dengan hukum Islam, namun mengandung
aspek-aspek selain hukum. Dalam kitab-kitab Fiqih dengan konsep etika
agama, juga terkadang mengandung pembahasaan akidah yang berarti
wilayah kajian ilmu kalam. Dan dalam kenyataannya pula, meskipun Fiqih
bisa diartikan dengan hukum Islam, namun hukum di sini tidak selalu identik
dengan law atau peraturan perundang-undangan Hukum yang
mempunyai al-ahkam al-khamsah (wajib, sunat, makruh harm, jaiz) dalam
Fiqih lebih identik dengan konsep etika agama, dalam hal ini Islam
yakni ciri utamanya adalah terwujudnya kandungan nilai ibadah yang
sarat dengan pahala dan siksa dan berkonsekuensi akhirat. Inilah ciri utama
dalam hal-hal yang digabungkan dengan Fiqih.
Dilihat
dari cakupannya yang sarat dengan muatan religious ethic, Fiqih bisa
diartikan dengan ilmu tentang perilaku manusia yang landasan utamanya adalah
nas / wahyu, atau lebih singkat ilmu Islam tentang perilaku manusia. Istilah
perilaku dimaksudkan dengan al-amaliyah yaitu dengan mengecualikan diskursus
teologis, perasaan, dan filsafat, sehingga ilmu kalam dan filsafat tidak masuk
disini.. sedangkan predikat Islam atau landasan utamanya wahyu membedaan fiqih
dengan ilmu atau konsep non islam.
Menurut
definisi Abu Hanifah Fiqih adalah marifat al-nafs malaha
waman alaiha amalan. (mengetahui hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
perilaku seseorang). Konsep hak dan kewajiban adalah konsep etika. Sedangkan
definisi yang sering diketahui adalah ilmu tentang hukum-hukum atau
etika agama syara untuk hal-hal yang berkaitan dengan amaliyah perilaku
manusia yang diuwujudkan dengan landasan utama dari dalil-dalil syara yang
rinci). Bisa juga didefiniskan sebagai kumpulan hukum-hukum atau etika
syara untuk hal-hal yang berkaitan dengan amaliyah perilaku manusia yang
termasuk dengan landasan utama dari dalil-dalil syara yang rinci.[11]
Di
samping uraian di atas, dalam membahas Fiqih sering ditemui pengertian hukum
dalam pengertiannya menurut ilmu hukum (hukum sekuler), artinya Fiqih juga
memuat pembahasan beberapa ketentuan sanksi terhadap tindak criminal
(jarimah), bagian-bagian hukum waris (mawaris), hukum perkawinan ( munakahat),
hukum perdagangan, hukum pidana (jinayah) dan lain-lain. Meskipun matan Fiqih
tersebut dalam beberapa hal masih tampak sederhana, namun sudah bisa dikatakan
cukup maju untuk masanya. Jadi kesederhanaan itu bukan lantaran ketinggalan
jaman, namun sesuai dengan tuntutan waktu ketika pemikiran Fiqih dihasilkan.
Di
pihak lain adanya anggapan atau pemikiran yang membuat sacral dan absolute
terhadap pengertian hukum islam. Dalam hal ini tidak ada pemisahan antara hukum
atau Fiqih yang merupakan hasil ijtihad ulama dengan konsep syariah Allah yang
identik dengan wahyu, yang memang bisa dikatakan sebagai hal
yang absolute, retorika seperti inilah yang sering dijumpai di
kalangan masyarakat. Seperti yang diungkapkan olehMuhamad
Muslihudin “Islamic law is diviney ordained syatem, the Will of Good to be
established on earth. It is called Shari’ah or the rigt path, Qur’an and the
sunnah (traditions of the Prophet) are its two primary and original
sources. ( Hukum islam adalah system illahiyyah, kehendak Allah yang
ditegakan di atas bumi. Hukum islam itu disebut syariah atau jalan yang benar.
Qur’an dan sunnah Nabi merupakan dua sumber utama dan asli bagi hukum Islam
tersebut.
2. Pencabangan Fiqih.
Fiqih
atau hokum Islam mempunyai cakupan yang sangat luas, seluas aspek perilaku
menusia dengan segala macam jenisnya. Dalam pembagian klasik Fiqih meliputi
empat kelompok 1. Ibadah, 2. Muamalat, 3. Munakahat dan 4. Jinayat.
Keempat
kelompok ini juga memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga hal-hal yang
berkaitan dengan Negara dan politik juga tidak terlewatkan menjadi obyek
pembahasan dalam buku Fiqih. Dengan kata lain, dari kandungan yang ada dalam
buku-buku Fiqih, sasaran kajian Fiqih meliputi banyak hal yang kemudian tidak
jarang mempunyai nama sendiri.[12]
Kemudian
muncul istilah Fiqih politik (Fiqih siyasah ) dan fiqih-fiqih
lainnya. Fiqih siyasahsebenarnya tidak sekedar diterjemahkan sebagai ilmu
tata Negara dalam Islam, namun disejajarkan dengan ilmu politik islam
atau Islamic Poltical Thought dan seterusnya sehingga istilah-istilah
tersebut menampakkan ciri Fiqih yang berupa exersice pemikiran yang
tidak berhenti dan tetap berkelanjutan, tidak malah didominasi oleh ciri Fiqih
yang sarat dengan nilai ibadah yang berkonsekwensi mandeg. Selanjutnya ketka
beribicara mengenai hukum pidana maka sudah memakai bahasa hukum yang lazim
dipergunakan dalam ilmu hukum. Hal yang samapun juga berlaku bagi cabang Fiqih
yang lainnya yang sudah muncul atau yang belum muncul, seperti Fiqih ekonomi, Fiqih
perdagangan, Fiqih keluarga, Fiqih lingkungan, Fiqih perbankan dan
lainnya.
Apabila
hal ini bisa dikenal maka disini tidak hanya bicara mengenai hukum, namun
hukum Islam yang menjadi ruhnya pada dasarnya berarti etika atau ruh islam,
tidakdiskursus hukum dalam ilmu hukum atau perundang-undangan.
Dengan demikian maka metode induktif harus bisa dipakai dengan
leluasa sambil mengakui deduktif dan bahkan landasan wahyu yang
dalam banyak sisi bisa dilihat sebagai metafisika. Ini proyek besar, dimana
mengerjakannya harus menguasai pula ilmu-ilmu sosial dan humanioramodern.
Dari
uraian tersebut diatas, ada dua hal yang bisa dikemukakan yaitu :
Pertama
: Cakupan Fiqih baik dalam pengertiannya yang bercabang-cabang tadi
maupun masih dalam pengertian hukum Islam, adalah sangat luas, seluas perilaku
manusia. Sehingga kasus-kasus baru yang sedang dan akan bermunculan akan selalu
menuntut jawaban dari Fiqih atau hukum islam.
Kedua
: agar selalu tetap eksis hukum islam harus mampu memberi
jawaban dengan cepat terhadap tuntutan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Disatu
sisi jawaban itu harus cepat dan tepat., untuk itu diperlukan pemikir yang
mumpuni, dari sisi lain spesialisasi cabang-cabang Fiqih perlu dikembangkan
sesuai dengan perkembangan sosial budaya dan tehnologi yang ada. [13]
Referensi :
[1] Maksun
Faiz, Konstitusionaisasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, membedah
Peradilan Agama, PPHIM Jawa Tengah, Semarang, 2001, hlm. 171
[2] Al-qur’an
dan terjemahannya 1978, Departemen Agama Republik Indonesia ,
Bumi, hlm.817
[3] Ibid.
hlm. 301
[4] Maksun Faiz , Op. Cit.. 172
[5] Ibid., hlm. 175
[6] Hasby ash Shiddieqy,
1974, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakrta, hlm. 44
[7] Ibid. hlm.112
[8] Ibid.
[9] Ibid. Hlm. 150
[10] Maksun Faiz, Op.
Cit. hlm.175
[11] Abu Zahroh, Ushul Fiqih,
hlm. 364.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm. 366