PENGGANTI SEDEKAH; SHOLAT DHUHA DAN KEUTAMAANNYA
Pendidikan Islam - Fiqih by admin on 29 September 2014
Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah.
Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh
persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah
tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah
kewajiban sedekah seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara
kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai
sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap
bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan
takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf
(mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah
sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha
sebanyak 2 raka’at.” [1]
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita
sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah
360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam
keadaan memiliki 360 persendian.” [2]
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat
digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits
berikut,
أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ
مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ».
قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا
الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »
“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Manusia
memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk
bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan,
“Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai
Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
“Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika
engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua
raka’at.”[3]
An Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah
dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan
menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua
raka’at.” [4]
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits
Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari
Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat
tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360
persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan
rutin dan terus menerus.” [5]
Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits
berikut,
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ الْغَطَفَانِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ
رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ ».
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala
berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di
awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” [6]
Penulis ‘Aunul Ma’bud - Al ‘Azhim Abadi menyebutkan, “Hadits
ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya
dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha
dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan
jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” [7]
Hukum Shalat Dhuha
Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah
sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini
adalah dalil yang menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan.
Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan
kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku
bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,
أَوْصَانِى خَلِيلِى - صلى الله عليه وسلم - بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mewasiatkan tiga nasehat padaku: (1) Berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2)
Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) Berwitir sebelum tidur.” [8]
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan
dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan
lainnya.” [9]
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan
yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan
selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [10]
Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga
mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[11]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai
dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan pandangan mata- hingga mendekati
waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20
menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser
ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi
Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit
setelah matahari terbit.[13]
Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di
masing-masing daerah dan kami tidak bisa memberitahukan jam pastinya shalat
Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan setiap hari waktu terbit matahari pun
berbeda.
Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di
akhir waktu[14], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat
Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain
waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain
untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat [15])
adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.” [16]
An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan
shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu
terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari
terbit hingga waktu zawal.” [17]
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Jumlah raka’at shalat Dhuha, minimalnya adalah dua raka’at
sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat [18].
Jadi boleh hanya dua raka’at, boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan
jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at,
shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.
Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah
dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Sedangkan dalil yang
menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,
مُعَاذَةُ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى صَلاَةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.
Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-
berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka
beliau.” [19]
Bolehkah Seorang
Pegawai (Bawahan) Melaksanakan Shalat Dhuha?
Mungkin setiap pegawai punya keinginan untuk melaksanakan
shalat Dhuha. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor
tentu lebih utama daripada melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas
dari atasan adalah wajib sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka
sudah seharusnya amalan yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang sunnah.
Hal ini berbeda jika kita menjalankan usaha sendiri (wirausaha) atau kita
adalah pemilik perusahaan, tentu sekehendak kita ingin menggunakan waktu.
Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau pegawai, kita tentu terikat aturan
pekerjaan dari atasan.
Maka kami nasehatkan di sini, agar setiap pegawai lebih
mendahulukan tanggung jawabnya sebagai pegawai daripada menunaikan shalat
Dhuha. Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa mengerjakan shalat Dhuha sebelum
berangkat kantor. Lihat penjelasan waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di
atas.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia ) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi
seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih wajib dari
sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah diketahui adalah shalat
sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan
yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin
pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia
berangkat kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15
menit setelah matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285. [20]
Bolehkah Melaksanakan
Shalat Dhuha secara Berjama’ah?
Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh
dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering
dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas,
ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat
di rumah ‘Itban bin Malik [21]; beliau pun pernah melaksanakan
shalat bersama Ibnu ‘Abbas. [22]
Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas
yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini
menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.” [23]
An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan
(tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat
sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan
sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat
‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan),
begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.” [24]
“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus
secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun
jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah,
maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau
lakukan bersama Ibnu ‘Abbas [25]. Sebagaimana pula beliau pernah
melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak
yatim di rumah Ummu Sulaim [26], dan masih ada contoh lain semisal
itu.” [27],
Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam
rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar
ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah
yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat
seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat
sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai
lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”
Intinya adalah:
1. Shalat
sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri)
dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
“Hendaklah kalian
manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat
adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no.
731)
2.
Terdapat
shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat
tarawih.
3. Shalat
sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama
dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun
tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.
4. Jika
memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti
untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.
Demikian penjelasan singkat dari kami mengenai shalat Dhuha.
Semoga bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1]
HR.
Muslim no. 720.
[2]
HR.
Muslim no. 1007.
[3] HR.
Ahmad, 5/354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih
ligoirohi.
[4]
Syarh
Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[5]
Nailul
Author, Asy Syaukani, 3/77, Idaroh At Thob’ah Al Munirah.
[6]
HR.
Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[7] ‘Aunul
Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi, 4/118, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah,
cetakan kedua, tahun 1415 H.
[8]
HR.
Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.
[9]
Nailul
Author, 3/76.
[10]
HR.
Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan
shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.
[11]
Shahih
Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/425, Al Maktabah At Taufiqiah.
[12] Lihat Syarh
Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,hal. 289,
Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[13]
Lihat
Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah yang akan kami bawakan selanjutnya.
[14]
Idem
[15]
Syarh
Muslim, 6/30.
[16]
HR.
Muslim no. 748.
[17]
Syarh
Muslim, 6/30.
[18] Pendapat
ini dipilih juga oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh
Al Arba’in An Nawawiyah,hal. 289.
[19]
HR.
Muslim no. 719.
[20]
Lihat Fatwa
Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhut ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 23/423, Darul Ifta’.
[21]
Sebagaimana
riwayat yang dibawakan oleh penanya.
[22] Al
Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul
Hadits, Asy Syamilah.
[23]
Fathul
Baari, 3/421
[24] Syarh
Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy
Syamilah
[25]
Hadits
muttafaq ‘alaih.
[26] Hadits
muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah
‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah
secara berjama’ah 266 (658)
[27]
Majmu’
Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah
Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Jika sobat merasa artikel SHOLAT DHUHA DAN KEUTAMAANNYA ini bermanfaat, silahkan Copas artikel ini, tetapi jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya seperti ini : Source:
http://tpa1024arrasyid.blogspot.com/2014/09/pengganti-sedekah-sholat-dhuha-dan.html