Membagi Warisan kepada Anak Angkat (Anak Pungut/Adopsi)
Pendidikan Islam - Waris by admin on 29 September 2014
Pengertian Anak Angkat
Anak Angkat adalah sebuah ungkapan yang artinya Anak orang lain yang dijadikan seperti anak sendiri secara sah. Pengertian anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sebagai berikut : Pertama, anak angkat dalam bahasa arab disebut “tabanny” yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain sebagai anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat, sedangkan dalam kamus Munjid diartikan ‘ittikhhadzahu ibnan’ , yaitu manjadikannya sebagai anak. Kedua anak angkat yang berasal dari kata ‘”luqata” yang berarti mengambil anak pungut artinya pengangkatan anak yang belum dewasa ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya. Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt“. Pengertiannya dalam bahasa belanda menurut kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung
Anak Angkat adalah sebuah ungkapan yang artinya Anak orang lain yang dijadikan seperti anak sendiri secara sah. Pengertian anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sebagai berikut : Pertama, anak angkat dalam bahasa arab disebut “tabanny” yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain sebagai anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat, sedangkan dalam kamus Munjid diartikan ‘ittikhhadzahu ibnan’ , yaitu manjadikannya sebagai anak. Kedua anak angkat yang berasal dari kata ‘”luqata” yang berarti mengambil anak pungut artinya pengangkatan anak yang belum dewasa ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya. Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt“. Pengertiannya dalam bahasa belanda menurut kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung
Tinjauan Hukum dan Akibat Hukum dari Adopsi
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat.
Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Hukum Adat: Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali , pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
Hukum Islam: Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
Peraturan Per-Undang-undangan : Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Agama Islam pada dasarnya tidak melarang praktek pengangkatan anak, sejauh tidak mempengaruhi dan tidak merubah hubungan nasab atau keturunan antara anak dengan orang tua kandungnya, Praktek pengangkatan anak akan dilarang ketika hal ini berakibat keluarnya anak angkat dari hubungan nasab atau keturunan antara anak dengan orang tua kandungnya sendiri dan masuk dalam hubungan nasab dengan orang tua angkatnya . Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar menjadikan sebagai anak kandung didasarkan pada Firman Allah SWT. Dalam surat Al-ahzab (33) ayar 4 dan 5.
...Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.(Q.S. Al-Ahzab: 4) Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi [yang ada dosanya] apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.Al-Ahzab: 5)
Pengangkatan anak yang diperbolehkan hukum Islam juga tidak berpengaruh dalam hukum kewarisan. Dengan demikian Islam tidak menjadikan anak adopsi sebagai sebab terjadinya hak waris-mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
Fatwa Muhammadiyah dan NU Mengenai Adopsi
a. Muhammadiyah
Bahwa anak angkat tidak boleh di-aku dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya.
Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
b. Nahdlatul Ulama
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi.
Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa :
"Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah." Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi saw. . "Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad".(Khazin, Juz Vi hlm 191)
"Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris," papar ulama NU dalam fatwanya. Jadi anak angkat tidak berhak menerima harta warisan, tetapi dengan melihat kasih sayang diberikan si anak angkat dan perjuangannya dalam mengurus orang tua angkatnya maka demi kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan keputusan KHI (Kompilasi Hukum Indonesia) bahwa anak angkat berhak menerima harta dengan jalan diberikannya wasiat wajibah.
Sumber : www.lbh.apik.or.id