Wudhu dan Tata Caranya
A'uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim,
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Terkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata ‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’ bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره , secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.] Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
A. Keutamaan Wudhu
1. Allah ta'ala mencintai orang-orang yang bersih, sebagaimana firman Allah :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Seungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersih (Al-Baqoroh :222)
2. Sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat wudlu yang nampak pada wajah, kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ
“Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudlu” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
3. Wudlu dapat menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ, خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ, حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتَ أَظْفَارِهِ
"Barang siapa yang berwudlu lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan-kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya". (Hadits riwayat Muslim no 245)
4. Wudlu bisa mengangkat derajat, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلآ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُوْ اللهُ بِهِ الْخَطَايَا, وَيَرْفَغُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : إِسْبَاغُ الْوُضُوْءَ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُالصَّلاَةَ بَعْدَ
... الصَّلاَةِ
“Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat-derajat?” Para sahabat menjawab : “Tentu, Ya Rosulullah”, Beliau berkata : “Sempurnakanlah wudlu pada saat keadaan-keadaan yang dibenci (misalnya pada waktu musim dingin-pent) dan perbanyaklah langkah menuju masjid-masjid dan setelah sholat tunggulah sholat berikutnya …”.(Hadits riwayat Muslim no 251)
5. Dengan wudlu seseorang bisa masuk surga dari pintu-pintu surga yang dia sukai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
"Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai". (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
Demikianlan sekilas tentang Keutamaan Wudhu.
B. Hikmah Disyari’atkannya Wudhu
Inti dan ruh dari sholat adalah seorang hamba harus sadar bahwa dia sedang berada di hadapan Allah ta'ala. Agar pikiran bisa siap untuk itu dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan pikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.
Karena seseorang yang pikirannya sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan perdagangan, industri dan sebagainya, jika kita katakan padanya “sholatlah!” maka dia akan merasa sulit dan berat untuk melaksanakannya. Disinilah (nampak jelas) hikmah wudhu karena membantu seseorang meninggalkan pikirannya yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi, serta wudhu memberikan waktu yang cukup untuk memulai pikiran pada konsentrasi yang lain (yaitu sholat). (Taudlihul ahkam 1/155)
C. Definisi Wudhu
Secara bahasa wudhu diambil dari kata الْوَضَائَةُ yang maknanya adalah النَّظَافَةُ (kebersihan) dan الْحُسْنُ (baik) (Syarhul Mumti' 1/148)
Sedangkan secara syar'i (terminologi) adalah "Menggunakan air yang thohur (suci dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut syari'at" (Al-fiqh al-Islami 1/208)
D. Sifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Wahai orang-orang yang beriman jika kalian berdiri untuk (mendirikan) sholat maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan basuhlah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata kaki. (Al-Maidah : 6)
Hadits Rosulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى المَازِنِيِّ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ سَأَلَ عَبْدَ اللهِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ وُضُوْءِ النَّبِيِّ ، فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوْءَ النَّبِيِّ . فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَمَضْمَضَ و اسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا بثَلاَثِ غُرْفَاتٍ، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَيْهِ فَمَسَحَ بِهِمَا رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ.
وَ فِيْ رِوَايَةٍ : بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذهَبَ بِهِمَا إِلَي قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ.
Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari bapaknya berkata : "Aku telah menyaksikan 'Amr bin Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang wudhunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Abdullah bin Zaid meminta tempayan kecil yang berisikaan air lalu dia berwdlu sebagaimana wudhunya Nabi. Maka beliau pun memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya-pent) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung-pent) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya.
Dalam riwayat yang lain : Beliau memulai dengan (mengusap) bagian depan kepalanya hingga kebagian tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut hingga kembali ke tempat dimana beliau mulai (mengusap).
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah :
1. Berniat
Sebagaimana telah dibahas bahwa niat adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bid'ah. Dan niat adalah syarat wudhu (dan ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga barang siapa yang berwudhu dengan niat bukan untuk bertaqorrub kepada Allah ta'ala tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka wudhunya tidak sah, karena Rosululah r bersabda "Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya". Namun Menurut madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan berthoharoh (termasuk juga ketika akan wudhu) adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berwudhu tanpa niat bertaqorrub pun sudah sah wudhunya. Dan yang benar adalah pendapat jumhur ulama. (Al-fiqh al-islami 1/225)
2. Membaca "Bismilah"
Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Huroiroh:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.
"Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya". (Hadits Hasan, berkata Syaikh Al-Albani : "…Hadits ini memiliki syawahid yang banyak…", lihat irwaul golil no 81
Hadits ini secara dhohir menunjukan bahwa membaca "bismillah" adalah syarat sah wudhu. Namun yang benar bahwa yang dinafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan wudhu.
Terjadi khilaf diantara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya mengucapkan "bismilah" ketika akan berwudhu Mereka berdalil dengan hadits ini
Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca "bismillah" ketika akan berwudhu hukumnya hanyalah mustahab, tidak wajib. (Taudihul Ahkam 1/193). Dalil mereka :
- Perkataan Imam Ahmad sendiri : "Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini"
- Dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan "bismillah" (syarhul mumti' 1/130)
Syaikh Al-Albani berkata : "…Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari dhohir hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah-pent) ke pendapat bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Sidiq Hasan Khon, Syaukani, dan inilah (pendapat) yang benar Insya Allah" (Tamamul Minnah hal 89)
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : طَلَبَ بَعْضُ أَصْحَاب النَّبِيِّ وُضُوْءً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ ؟ فَوَضَعَ يَدَهُ فِيْ الْمَاءِ وَ يَقُوْلُ : تَوَضَّؤُوْا بِاسْمِ اللهِ, فَرَأَيْتُ الْمَاءَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّؤُوْا مِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ . قَالَ ثَابِتٌ : قُلْتُ لأَنَسٍ : كَمْ تَرأهُمْ ؟ قَالَ : نَحْوٌ مِنْ سَبْعِيْنَ
Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya ketika akan berwudhu dan dia baru ingat di tengah dia berwudhu atau bagaimana jika dia baru ingat setelah berwudhu. Jawabnya :
Jika dia ingat di tengah berwudhu, maka dia tidak perlu mengulangi wudhunya tapi terus melanjutkan wudhunya karena membaca "bismillah" bukan merupakan syarat wudhu. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai berwudhu maka wudhunya sah, karena Allah tidak membebani apa yang tidak disanggupi oleh umatnya.
3. Mencuci tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan
Berkata Syaikh Ali Bassam : "Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air tempat wudhu, dan ini merupakan sunnah menurut ijma'. Dan dalil bahwa mencuci kedua tangan hanyalah sunnah bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci kedua tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur'an). Dan sekedar perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidaklah menunjukan akan wajib, hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini adalah qoidah usuliah". (Taudihul Ahkam 1/161).
4. Berkumur-kumur (tamadlmudl) dan beristinsyaq
Khilaf diantara para Ulama :
Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi'i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang عشر من سنن المرسلين (sepuluh dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah "toriqoh" bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil-dalil mereka :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
- Allah ta'ala berfirman (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta'ala.
- Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi'i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang عشر من سنن المرسلين (sepuluh dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah "toriqoh" bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil-dalil mereka :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
- Allah ta'ala berfirman (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta'ala.
- Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
"Barangsiapa yang berwudhu hendaklah dia beristinsyaq"
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith bin Sobroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
"Jika engkau berwudhu maka berkumur-kumurlah" (Taudihul ahkam 1/173)
Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung)
5. Mencuci wajah
Hukumnya adalah wajib. Dan definisi wajah secara syar'i tidak dijelaskan oleh Syari'at oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal). (Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam :
Hukumnya adalah wajib. Dan definisi wajah secara syar'i tidak dijelaskan oleh Syari'at oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal). (Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عُثْمَان قّالَ : إِنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِيْ الْوُضُوْءِ
Dari Utsman berkata : "Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela jenggotnya ketika berwudlu. (Hadits shohih, riwayat Tirmidzi)
Dan juga hadits Anas:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِيْ رَبِّي عَزَّ وَ جَلَّ
Bahwasanya Nabi jika berwudhu beliau mengambil segenggam air (dengan tangannya-pent) lalu beliau memasukkannya di bawah mulutnya kemudian beliau menyela-nyela jenggot dengannya. Dan beliau berkata :"Demikianlah Robku عَزَّ وَ جَلَّ memerintah aku". (Irwaul golil no 92)
Menyela-nyela jenggot ada dua hukum :
- Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela-nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal jenggot.
- Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib dicuci karena dia merupakan perpanjangan wajah (Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti' 1/140 )
6. Mencuci kedua tangan
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta'ala berfirman :
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta'ala berfirman :
وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(Dan cucilah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku
Sebab إِلَى menurut para ahli nahwu bisa berarti akhir dari puncak, baik untuk waktu maupun tempat. Misalnya untuk waktu ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الليْلِ (Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam) dan untuk tempat misalnya مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى (Dari masjidil Harom hingga ke masjidi Aqso).
Adapun yang datang setelah إِلَى maka boleh masuk kepada yang sebelum إِلَى (sehingga ketika itu إِلَى bermakna مَعَ sebagaimana firman Allah ta'ala وَلاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَلِكُمْ ) dan bisa juga tidak masuk kepada apa yang sebelum إِلَى , dan ini semua diketahui dengan qorinah (indikasi) (Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan adanya qorinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu. Diantaranya :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ
Dari Jabir berkata :"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berwudhu, beliau memutar air ke kedua sikunya" (Diriwayatkan oleh Darqutni dengan sanad yang dho'if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam 1/191)
Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Huroiroh
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudhu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rosulullah berwudhu" (Hadits shohih riwayat Muslim, Irwaul Golil no 94)
Apakah disunnahkan mencuci tangan hingga ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Huroiroh ?
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah wudhu hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini disunnahkan. Imam Nawawi berkata : "Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan kedua mata kaki" Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu Huroiroh t dalam riwayat yang lain :
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah wudhu hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini disunnahkan. Imam Nawawi berkata : "Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan kedua mata kaki" Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu Huroiroh t dalam riwayat yang lain :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : سَمِعْت رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ
مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيْلَهُ فَلْيَفْعَلْ
مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيْلَهُ فَلْيَفْعَلْ
Dari Abu Huroiroh berkata : Aku mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudhu, maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya dan tahjilnya maka lakukanlah" (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak disunnahkannya hal ini (memanjangkan wudhu melewati tempat yang diwajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan juga dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Adurrohman As-Sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Al-Albani.
Dalil mereka (Taudihul Ahkam 1/182) :
- Seluruh sahabat yang mensifatkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki
- Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota wudhu hanya dibatasi pada siku dan dua mata kaki
Adapun perkataan :"Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan, dst…..", ini bukanlah perkataan Rosululah r tetapi merupakan mudroj (tambahan perkataan) dari Abu Huroiroh t. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu'aim Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata : "Aku tidak tahu perkataan ("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya hendaklah dia melakukannya") merupakan perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abu Huroiroh". Berkata Ibnul Qoyyim :"Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh t bukan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah dijelaskan oleh banyak Hafiz". Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim(no 250) dari Abi Hazim, beliau berkata : "Aku dibelakang Abu Huroiroh t dan dia sedang berwudhu untuk sholat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya :"Wahai Abu Huroiroh, wudhu apa ini?", maka beliau berkata :"Wahai Bani Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berwudhu seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya wudhu". Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudhu yang dilakukan oleh Abu Huroiroh t hanyalah ijtihad beliau t saja.
- Kalau kita terima hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
- Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota wudhu hanya dibatasi pada siku dan dua mata kaki
Adapun perkataan :"Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan, dst…..", ini bukanlah perkataan Rosululah r tetapi merupakan mudroj (tambahan perkataan) dari Abu Huroiroh t. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu'aim Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata : "Aku tidak tahu perkataan ("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya hendaklah dia melakukannya") merupakan perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abu Huroiroh". Berkata Ibnul Qoyyim :"Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh t bukan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah dijelaskan oleh banyak Hafiz". Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim(no 250) dari Abi Hazim, beliau berkata : "Aku dibelakang Abu Huroiroh t dan dia sedang berwudhu untuk sholat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya :"Wahai Abu Huroiroh, wudhu apa ini?", maka beliau berkata :"Wahai Bani Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berwudhu seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya wudhu". Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudhu yang dilakukan oleh Abu Huroiroh t hanyalah ijtihad beliau t saja.
- Kalau kita terima hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوْءُ
(Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) wudhunya. (Riwayat Muslim)
Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
7. Membasahi kedua tangan lalu membasuh kepala dan kedua telinga.
Caranya sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap tidak boleh dicuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkan mengusap tidak.(Syarhul Mumti' 1/150)
Dan disunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shohih dari Utsman t bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya tiga kali. (Shohih Sunan Abu Dawud no 95, lihat Tamamul Minnah hal 91).
Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi'i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika berwudhu. Selain itu huruf ب yang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ) bisa bermakna "sebagian".
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang shohih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : "Tidak dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala" Berkata Ibnul Qoyyim ;"Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala" (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:
Caranya sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap tidak boleh dicuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkan mengusap tidak.(Syarhul Mumti' 1/150)
Dan disunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shohih dari Utsman t bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya tiga kali. (Shohih Sunan Abu Dawud no 95, lihat Tamamul Minnah hal 91).
Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi'i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika berwudhu. Selain itu huruf ب yang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ) bisa bermakna "sebagian".
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang shohih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : "Tidak dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala" Berkata Ibnul Qoyyim ;"Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala" (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ
Dari Mugiroh bin Syu'bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu' lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya dan kedua khufnya. (Riwayat Muslim)
Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap sorbannya dan pernah hanya mengusap kepalanya dimulai dari ubun-bunnya. (Taudihul Ahkam 1/187)
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. (Dan semua kemungkinan ini dibolehkan oleh Sidiq Hasan Khon dalam Ar-roudlotun Nadiah)
Sedangkan makna ب untuk makna tab'id (sebagian) tidak ada dalam bahasa Arab sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin (Syarhul mumti' 1/151)
Mengusap kedua telinga
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusap kedua telinga. Sesuai dengan hadits.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، فِيْ صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ : ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ
السَّبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ
السَّبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ
Dari Abdillah bin 'Amr tentang sifat wudhu, berkata : "Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya" (Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul Ahkam 1/166)
Dan juga hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ ظَاهِرَُمَا وَ بَاطِنَهُمَا
"Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan kedua telinganya baik bagian luar maupun yang bagian dalam" (Hadits shohih, dishohihkan oleh Tirmidzi, Irwaul Golil no 90)
Dan ketika mengusapnya tidak perlu air yang baru. Berkata Ibnul Qoyyim :"Tidak ada riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinganya". Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air yang baru bukan dari air bekas mengusap kepalanya adalah dlo'if. Yang shohih yaitu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk mencuci) kedua tangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).
Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena (Taudlihul Ahkam 1/168) :
· Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat (وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ), dan telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, 'urf, mapun syar'i), sebagaimana hadits : الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ (kedua telinga itu termasuk kepala, lihat As-Shohihah no 36, dan pendapat akan sunnahnya (tidak wajib) timbul karena menganggap hadits ini lemah).
· Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh telinga.
8. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang kiri.
Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta'ala وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama'ah. Berbeda halnya dengan Syi'ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu :
- Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan dikasrohkan huruf ل tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).
- Ka'ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan dua), padahal jumlah ka'ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka'ab dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti' 1/153)
Namun pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya :
- Qiro'ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل . Dan qiro'ah ini jelas menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْجُلِ dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana dalam firman Allah ta'ala dalam surat Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍ merupakan sifat dari عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ .(Syarhus Sunnah 1/430)
- Kalaupun qiro'ah yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi hukum mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti' 1/176)
- Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta'ala وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama'ah. Berbeda halnya dengan Syi'ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu :
- Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan dikasrohkan huruf ل tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).
- Ka'ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan dua), padahal jumlah ka'ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka'ab dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti' 1/153)
Namun pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya :
- Qiro'ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل . Dan qiro'ah ini jelas menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْجُلِ dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana dalam firman Allah ta'ala dalam surat Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍ merupakan sifat dari عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ .(Syarhus Sunnah 1/430)
- Kalaupun qiro'ah yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi hukum mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti' 1/176)
- Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ فِيْ سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ :
"وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ"
"وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ"
Dari Abdullah bin Amr berkata : "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami-pent) beliau mendapati kami - (dan ketika itu) telah datang waktu sholat yaitu sholat asar- kami sedang berwudhu, maka kami mengusap kaki-kaki kami. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada kami dengan suaranya yang keras :"Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu) dengan api" (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.
- Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu Huroiroh
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ
قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
قَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudhu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu" (Hadits shohih riwayat Muuslim, irwaul golil no 94)
Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma diusap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.
Perlu diingat ketika mencuci kaki disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan juga jari-jari tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits :
عَنْ لَقِيْط بْن صَبْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ
الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari Laqith bin Sobroh berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Sempurnahkanlah wudhu dan sela-selalah jari-jari dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa" (Hadits shohih, dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma'ad :"…Dalam (kitab) sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata : "Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dan dia menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya" Kalau riwayat ini benar [1]¨) maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melakukannya sekali-kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah." (Syarhul Mumti' 1/143).
9. Membaca doa setelah wudhu
Yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا
شَاءَ
لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا
شَاءَ
"Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian berkata :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ
kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai". (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
أللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersih.
Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun yang benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 96).
Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudhu :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إلاَّ أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri, lihat Irwaul golil 1/135 dan 2/94)
Demikianlan sekilas tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
E. Syarat, Rukun dan Sunnah Wudhu
- Sesungguhnya mencuci yang diperintahkan dalam ayat tidaklah bisa terwujud kecuali dengan dalk, sedangakan hanya sekedar terkena air tidaklah dianggap sebagai satu cucian.
- Dan yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan dalk sebagaimana dalam hadits
- Buang air besar dan buang air kecil, dalilnya
- Buang angin, dalilnya :
- Madzi, sesuai dengan Hadits Ali, beliau berkata :
- Darah istihadloh, sesuai dengan hadits 'Aisyah, bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy yang beristihadloh:
- Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah dan beliau berwudhu
- Muntah itu adalah sisa-sisa yang keluar dari badan, maka dia mirip dengan kencing dan tahi.
- Pendapat pertama (ini merupakan pendapat Abu Musa Al-'Asyari, Ibnu Umar, dan Ibnul Musayyib) : Baik tidurnya banyak ataupun sedikit tidaklah membatalkan wudhu selama belum dipastikan timbulnya hadats, karena tidur itu bukanlah pembatal tetapi hanyalah tempat kemungkinan terjadinya hadats. Dan tidak bisa dikatakan batal kecuali sampai yang tidur tersebut yakin bahwa dia berhadats. Para sahabat yang disebutkan dalam hadits diatas sampai ada yang mendengkur (tidurnya lelap), namun bangun dari tidur dan langsung sholat tanpa wudhu.
- Pendapat kedua (jumhur) : Jika tidurnya banyak maka membatalkan wudhu, namun tidur yang sedikit tidak membatalkan wudhu. Dan mereka (jumhur) memiliki perincan tentang ciri-ciri tidur yang sedikit tersebut yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Diantaranya seperti tidur dalam keadaan duduk (atau dalam keadaan sujud). Karena dalam hadits diatas disebutkan bahwa hingga kepala-kepala para sahabat terangguk-angguk. Dan ini tidaklah terjadi kecuali mereka tidur dalam keadaan duduk (sebagaimana perkataan Ibnul Mubarok). Dan seseorang yang tidur dalam keadaan duduk, dia tidak bisa buang angin kecuali dengan mengerakkan badannya ke kanan atau ke kiri.
- Pendapat ketiga (ini adalah pendapat Ibnu Hazm) : Bahwasanya tidur membatalkan wudhu secara mutlaq baik tidurnya sedikit maupun tidurnya banyak.
- Pendapat pertama : Tidak batal wudhunya walaupun dengan syahwat, dalilnya hadits
- Pendapat kedua: Batal wudhunya walaupun tanpa syahwat, dalilnya hadits :
- Pendapat ketiga: Batal kalau dengan syahwat. Pendapat ketiga ini menjamakkan dua pendapat di atas. Hadits Tolq kita bawakan untuk sentuhan tanpa syahwat, sedangkan hadits Busroh kita bawakan untuk sentuhan dengan syahwat. Perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dia hanyalah bagian dari tubuh engkau) menunjukan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan “Karena sesungguhnya engkau telah menyentuh kemaluanmu tanpa syahwat maka seakan-akan engkau seperti menyentuh anggota-anggota tubuh yang lain. Namun jika engkau menyentuhnya dengan syahwat maka batal wudhumu karena ‘illahnya ada”.
- Pendapat keempat : Hanya disunnahkan untuk berwudhu walaupun menyentuhnya dengan syahwat. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebab disebutkan dalam lafal hadits Tolq أَعَلَيْهِ الوُضُوْءُ (apakah atasnya wudhu?) maksudnya yaitu “apakah wajib baginya wudhu?”, maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Tidak”, sebab hukumnya cuma sunnah. Jadi perintah wudhu yang ada pada hadits Busroh hanyalah sunnah, tidak wajib. Namun pendapat ini terbantah karena ada hadits lain yang jelas menunjukan wajibnya berwudhu, yaitu hadits :
- Bahwasanya syahwat adalah memungkinkan timbulnya hadats
- Dalam hadits yang shohih (riwayat Bukhori dan Muslim) disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sholat dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh kaki ‘Aisyah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan sujud. Dan ‘Aisyah juga pernah menyentuh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sujud sholat, beliau berkata :
- Batalnya wudhu hanya dengan sekedar menyentuh sangat menyulitkan, apalagi jika seseorang mempunyai Ibu yang telah tua dan anak pamannya.
- Firman Allah ta’ala أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (..atau menyentuh para wanita..), dan Allah ta’ala tidak metaqyidnya dengan syahwat
- Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh kaki ‘Aisyah mungkin saja karena ada kain penghalangnya (jadi tidak menyentuhnya langsung) atau mungkin beliau menyentuh dengan kukunya.
- Hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istri-istrinya, kamudian beliau keluar untuk sholat tanpa berwudhu.
- Adapun jawaban terhadap pendapat pertama dan kedua, yaitu bahwasanya yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat maksudnya “berjimak” dan ini merupakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallohu'anhu.
- Selain itu Allah ta’ala berfirman :(Wahai orang-orang yang beriman, jika…….maka cucilah wajah-wajah….dst….hingga kedua mata kaki) ini merupakan perintah untuk menghilangkan hadats kecil. Lalu Allah ta’ala berfirman :(Dan jika kalian berjunub maka bersucilah) ini perintah untuk menghilangkan hadats besar. Kemudian Allah ta’ala menjelaskan sebab-sebab hadats kecil yaitu (..atau salah seorang dari kalian buang air besar), kemudian Allah juga menjelaskan sebab hadats besar yaitu (atau kalian menyentuh wanita). Kalau menyentuh diartikan sekedar menyentuh maka berarti Allah ta’ala tidak menyebutkan sebab hadats besar. Dan ini merupakan kekurangan dalam koidah balagoh. (Syarhul Mumti’ 1/239)
- Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya mereka memerintahkan orang yang memandikan mayat untuk berwudhu.
- Orang yang memandikan mayat pada umumnya menyentuh kemaluan si mayat.
- Jika memang atsar tersebut shohih, maka mungkin saja perintah tersebut untuk istihbab (sunnah)
- Menyatakan sesuatu membatalkan wudhu harus berhati-hati, sebab jika kita menyatakan wudhunya batal otomatis kita menyatakan bahwa sholatnya juga batal.
- Tidaklah benar bahwa menyentuh dzakar membatalkan wudhu secara mutlaq (khilaf tentang masalah ini telah lalu). Kalaupun membatalkan, belum tentu yang memandikan ini menyentuh kemaluan si mayat.
- Hadits Barro’, yaitu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ (Berwudhulah karena daging unta). Dan asalnya perintah adalah untuk wajib.
- Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
- Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : الوُضُوْءُ مِمَّا خَرَجَ، لاَ مِمَّا دَخَلَ (wudhu itu karena apa-apa yang keluar bukan karena apa-apa yang masuk).
- Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang kedua ini umum, sedangkan hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama adalah khusus. Maka yang umum dibawakan kepada yang khusus. Jadi yang benar semua yang disentuh api tidak perlu wudhu kecuali daging unta.
- Adapun menyatakan hadits ini sebagai nasikh, maka tidaklah benar sebab masih mungkin untuk dijamakkan
- Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah dho’if.
- Jantung, hati, rempelo, jerohan, itu tidaklah disebut daging. Kalau kita memerintahkan orang lain untuk membelikan daging, lantas dia membelikan kita jerohan maka tentu kita tidak menerimanya.
- Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya.
- Hikmah bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu adalah ta’abbudiyah, oleh karena itu tidak bisa diqiaskan dengan yang lainnya.
- Bahwasanya الَحْمُ (daging) menurut bahasa arab mencakup seluruh bagian tubuh, sebagaimana firman Allah ta’ala(Diharamkan bagi kalian bangkai dan darah dan daging babi). Maka daging di sini mencakup seluruh bagian tubuh babi baik kulit, jerohan, dan yang lainnya.
- Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan bahwa selain daging tidak membatalkan wudhu, padahal beliau mengetahui bahwa manusia tidak hanya memakan daging unta saja.
- Tidak ada dalam syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dihalalkan sebagian anggota tubuh hewan dan dihalalkan bagian yang lain.
- Telah shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena meminum susu unta. Maka bagian-bagian yang selain susu lebih aula untuk diperintahkan berwudhu.(Namun hadits tentang masalah ini didhoifkan oleh sebagian ulama)
- Sesuai firman Allah لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْنَ (Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (هُ) kembali kepada Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang dimaksud الْمُطَّهَّرُوْنَ adalah orang yang berwudhu dan mandi dari janabah sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar bukan perintah (sebab kalau perintah dia mestinya majzum لاَ يَمَسَّهُ karena لاَ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermakna perintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.
- Sesuai dengan hadits :
- Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci maupun tidak).
- Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada nash.
- Adapun makna طَاهِرٌ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :
- Adapun dhomir (هُ) yang terdapat ayat kembalinya pada فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab yang berada di tangan para malaikat bukan Al-Qur’an, karena dhomir kembali kepada yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke تَنْزِيْلٌ نِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ayat (عَبَسَ) ayat 11-16 yaitu فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ sama dengan فِي كِتَابٍ مَكْنُوْن dan بِأَيْدِي سَفَرَةٍ sama dengan لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْن , dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.
- Dan dalam ayat الْمُطَّهَّرُوْنَ menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)
- Adapun anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa demikian namun harus ada korinah yang menunjukan akan hal itu. Jika tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap bermakna khobar.
- Adanya hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نَهَى عَنِ السَّفَرِ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ (melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh, Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).
- Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab.
- Asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.
Syarat - Syarat Wudhu
1. Niat (ada khilaf antara jumhur dan Hanafiyah, lihat artikel seri 1).
2. Air yang digunakan harus thohur (suci dan mensucikan), maka tidak sah berwudhu dengan air yang najis
3. Air yang digunakan harus air yang mubah (ada khilaf dalam masalah ini). Sehingga tidak sah berwudhu dengan air curian.
4. Menghilangkan hal-hal yang bisa mengahalangi sampainya air ke kulit. Dalilnya :
حَدِيْثِ خَالِدٍ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ النَّبِيُّ رَأَى رَجُلاً، وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةُ قَدَرِ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا المْاَءُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيْدَ الْوُضُوْءَ
Hadits Kholid bin Mi’dan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang pada kakinya ada seukuran dirham yang tidak terkena air (wudhu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhu. Hadits shohih riwayat Abu Dawud dan ada tambahan الصَّلاَةَ yaitu (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi sholat, Irwaul Golil no 86)
5. Jika seseorang selesai dari buang hajat maka dia harus bersuci dahulu sebelum berwudhu
Rukun - Rukun Wudhu
Rukun-rukun yang disepakati ada empat yaitu :
1.Mencuci wajah
2.Mencuci tangan
3.Mengusap kepala
4.Mencuci kedua kaki
Rukun-rukun yang diperselisihkan, antara lain
1.Tertib
Menurut Hanafiyah dan Malikiyah tertib dalam wudhu hanyalah sunnah muakkadah dan tidak fardlu. Sebab dalam ayat Allah ta'ala menggunakan huruf َو bukan فَ atau ثُمَّ yang menunjukan tertib. Sedangkan و hanyalah untuk mutlaqul jam'i.
Sedangkan menurut Hanabilah dan Syafi'iyah tertib dalam wudhu adalah fardlu (al-fiqh al-islami 1/231). Dalilnya :
Demikianlah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang datang dalam hadits-hadits yang shohih
Sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam اِبْدَأْ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ (Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah, hadits riwayat Muslim no 1218). Walaupun hadits ini tentang masalah haji, yaitu berkaitan dengan firman Allah ta'ala ( إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ..) , namun 'ipoh adalah dengan keumuman lafalnya bukan dengan kekhususan sebab.
Allah ta'ala memasukkan yang diusap diantara hal-hal yang dicuci. Dan hal ini telah keluar dari qoidah balagoh. Dan tidak ada faedah yang bisa diperoleh dari hal ini (keluar dari qoidah balagoh) kecuali tertib (Syarhul Mumti' 1/153)
Oleh karena barang siapa yang berwudhu dengan tidak tertib maka wudhunya tidak sah
Adapun tertib antara selain empat anggota yang disebutkan dalam ayat maka hukumnya sunnah berdasarkan ijma'. Misalnya antara berkumur-kumur, beristinsyaq dan wajah, antara kaki kanan dengan kaki kiri, tangan kanan dengan tangan kiri, dan antara kepala dan telinga. Sebab pada hakikatnya contoh-contoh ini merupakan satu anggota tubuh. Para ulama menganggap kaki kanan dan kaki kiri sebagai satu anggota tubuh.(Taudlihul Ahkam 1/189, al-fiqh al-islami 1/233)
Oleh karena itu jika seorang berwudhu tanpa tertib (walaupun karena lupa), maka wudhunya tidak sah karena wudhu adalah satu kesatuan sebagaimana sholat. Jika seseorang sujud sebelum ruku kemudian baru ruku maka sholatnya tidak sah walaupun dia dalam keadaan lupa. (Syarhul Mumti' 1/154)
2.Muwalah
Yang dimaksud dengan muwalah adalah bersambungan. Yaitu wudhu harus dilakukan bersambungan jangan terpisah hingga anggota tubuh yang sebelumnya kering. Menurut Hanafiyah dan Syafi'iah muwalah hukumnya sunnah tidak wajib. Namun menurut Malikiyah dan Hanabilah hukumnya adalah fardlu sebab adanya hadits Kholid bin Mi'dan (telah lalu). Kalau seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi tidak memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhunya, tetapi cukup disempurnakan saja. (al-fiqh al-islami 1/234-235)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya.
Qiyas dengan sholat, karena sholat itu harus muwalah. Kalau sholat terpisah dengan pembicaraan maka sholat menjadi batal.
Kewajiban - Kewajiban Wudhu
Kewajiban wudhu cuma ada satu (namun ini diperselisihkan oleh para ulama) yaitu membaca bismillah ketika akan berwudhu.
wudhu memiliki sunnah-sunnah yang banyak, diantaranya:
1. Bersiwak, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَوْ لاَ اَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan berwudhu. (Hadits shohih, irwaul golil no 70)
2. Mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan sebelum berwudhu (lihat artikel seri 1)
3. Mencuci anggota-anggota wudhu sebanyak tiga kali. (sedangkan mengusap kepala yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sekali, lihat artikel seri 1)
Telah tsabit bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu tiga-tiga kali, dan hadits mengenai ini banyak (diantaranya hadits Abdullah bin Zaid di atas pada artikel seri 1). Demikian pula telah tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dua-dua kali (sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Zaid t riwayat Bukhori no 158). Dan juga telah tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu sekali-sekali (sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas t riwayat Bukhori no 157). Dan juga telah tsabit bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagian anggota tubuhnya tiga kali dan sebagian yang lain dua kali (sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Zaid t di atas, lihat artikel seri 1) (Lihat Thuhurul Muslim hal 81dan Syarhul Mumti' 1/146)
4. Menyela-nyela jenggot yang tebal (lihat artikel seri 1)
5. Menyela-nyela jari-jari kaki dan jari-jari tangan (lihat artikel seri 1)
6. Dalk (menggosok)
Yang dimaksud dengan dalk yaitu menggosok anggota wudhu (yang telah terkena air) dengan menggunakan tangan (sebelum anggota wudhu tersebut kering). Dan yang dimaksud dengan tangan di sini yaitu telapak (bagian dalam) tangan. Oleh karena itu tidak cukup men-dalk kaki dengan menggunakan kaki lainnya. (al-fiqh al-islami 1/235). (Namun tidak ada dalilnya harus dengan telapak tangan-pen)
Menurut jumhur ulama hukum dalk adalah sunnah karena tidak disebutkan dalam ayat. Sedangkan menurut Malikiyah adalah wajib. Dalil mereka :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ t قَالَ : إِنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِثُلُثَيْ مُدٍّ، فَجَعَلَ يَدْلُكُ ذِرَعَيِهِ
Dari Abdullah bin Zaid t berkata : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau mendalk (menggosok) kedua lengannya. (Hadits shohih riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah
Tetapi pendapat jumhur yang lebih rojih, sebab yang diperintahkan oleh Allah ta'ala hanyalah mencuci bukan menggosok. Sedangkan sekedar perbuataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menunjukkan akan wajib. Tetapi jika air tidak bisa menyentuh kulit kecuali dengan digosok maka hukum dalk adalah wajib (Taudlihul Ahkam 1/179)
7. Mendahulukan tangan kanan daripada yang kiri dan kaki kanan daripada kaki kiri. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Huroiroh
;إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَءُوْا بِمَيَامِنِكُمْ
8. Berdo'a setelah berwudhu. (Lihat artikel seri 1)
9. Menggunakan air wudhu dengan hemat
Yang afdlol adalah berwudhu tiga-tiga kali namun tidak boros dan berlebih-lebihan dalam menggunakan air, baik ketika wudhu maupun ketika mandi. Sebagaimana dalam hadits
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَغْتَسِلُ مِنْ إِنَاءِ -وَهُوَ الفرق- مِنَ الْجَنَابَةِ
Dari 'Aisyah bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi janabah dengan satu ina' (yaitu satu farq). (Hadits shohih riwayat Muslim no 319)
Berkata Sofyan satu farq adalah tiga sok.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu dengan dua per tiga mud, sebagaimana hadits :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ : إِنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِثُلُثَيْ مُدٍّ، فَجَعَلَ يَدْلُكُ ذِرَعَيِهِ
Dari Abdullah bin Zaid berkata : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau mendalk (menggosok) kedua lengannya. (Hadits shohih riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Berkata Imam Bukhori :"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa wajibnya wudhu adalah sekali-sekali, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berwudhu dua kali-dua kali dan tiga kali-tiga kali dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menambah lebih dari tiga kali, ..."
Oleh karena itu hendaknya berhemat dalam berwdlu dan sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya berkata :
جَاءَ أَعْرَبِي إِلَى النَّبِيِّ ، فَأَرَاهُ الْوُضُوْءَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا الْوُضُوْءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أسَاءَ،
وَتَعَدَّى، وظَلَمَ
Seorang arab badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkannya wudhu dengan tiga kali-tiga kali, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :"Demikianlah wudhu, maka barang siapa yang menambah lebih dari ini (lebih dari tiga kali) maka dia telah berbuat jelek dan melampaui batas dan berbuat dzolim" (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shohih Nasai 1/31)
إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِيْ هَذِهِ الأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطَّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ
Sesungguhnya akan ada pada umat ini suatu kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo'a. (Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Abani dalam shohih Abu Dawud 1/21) (Lihat Thuhurul Muslim hal 82)
Catatan Kaki:
[1] Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam shohihul jami’ no 4576
F. Hal Yang Membatalkan Wudhu
Hal Yang Membatalkan Wudhu
Jika terdapat salah satu dari pembatal-pembatal berikut maka seseorang telah batal wudhunya. Pembatal-pembatal tersebut yaitu :
1. Segala yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur).
Dan yang termasuk dalam hal ini ialah :
Dan yang termasuk dalam hal ini ialah :
Firman Allah ta'ala:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
Atau salah seorang diantara kalian buang air besar
Dan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
Tetapi karena buang air besar dan buang air kecil dan tidur (Hadits hasan, irwaul golil no 106)
Dari hadits Abdullah bin Zaid bahwasanya diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang dikhayalkan bahwasanya dia mendapatkan sesuatu (merasa telah buang angin) dalam sholatnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Janganlah dia berpaling (keluar .dari sholatnya) sampai dia mendengar bunyi (kentut)nya atau sampai dia mencium baunya (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Demikian pula ketika Abu Huroiroh ditanya oleh seorang laki-laki dari Hadromaut: "Apakah yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Huroiroh?"(yaitu hadats yang disebutkan dalam hadits :"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima sholat seorang dari kalian jika dia berhadats hingga dia berwudhu"-pent). Maka Abu Huroiroh berkata : فُسَاءُ (Kentut yang tidak bersuara) dan ضَرَّاطٌ (kentut yang bersuara). (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)
Namun terjadi khilaf diantara para ulama bagaimana jika ada angin yang keluar dari depan (dari kemaluan), yang hal ini kadang terjadi pada kaum wanita ?
Hanafiyah berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan wudhu. Sedangkan selain Hanafiyah menyatakan tetap batal sesuai dengan keumuman hadits :
لاَ وُضُوْءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أوْ رِيْحٍ
Tidak ada wudhu kecuali karena bunyi atau angin (Hadits riwayat Thirmidzi dan Ibnu Majah dan dihasankan oleh Nawawi, lihat Irwaul Golil no 107)
Ibnu Qudamah berkata :"Kami tidak mengetahui adanya wujud angin ini, kami tidak mengetahui adanya angin ini pada seseorang". (Lihat al-fiqh al-islami 1/256-257) Namun yang benar angin seperti ini ada wujudnya dan kadang-kadang menimpa para wanita (Syarhul Mumti' 1/230).
كُنْتُ رَجًلٌ مَذَّاءً فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ ، فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ؟ فَقَالَ
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Aku adalah seorang yang sering keluar madzi dan aku malu untuk bertanya (tentang masalah ini) kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedudukan anak beliau. Maka akupun memerintahkan Miqdad bin Aswad (untuk menanyakan hal ini kepada beliau), maka beliau berkata : "Dia cuci dzakarnya dan dia berwudhu" (Diriwayatkan oleh Bukhori Muslim)
تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صّلاَةٍ
"Berwudhulah setiap kali sholat" (Hadits shohih, irwaul golil no 109, 110)
Berkata An-Nawawi : "Maka yang keluar dari qubul atau dubur laki-laki atau perempuan membatalkan wudhu, sama saja baik ia buang air besar, buang air kecil, angin, mikroba perut (ulat, cacing, dan sebagainya), nanah, darah, atau batu kecil, atau lainnya". Dan tidak ada perbedaan dalam hal tersebut antara yang biasanya terjadi maupun yang jarang terjadi. (Sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 44)
Sedangkan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti nanah, darah, dan muntah maka tidak membatalkan wudhu. Dan inilah pendapat Malikiyah dan Syafi'iyah dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam namun beliau tidak berwudhu, namun hadits ini dho'if. Mereka juga berdalil dengan kisah ketika ada seorang sahabat Ansor yang sholat pada malam hari lantas kakinya terkena tiga anak panah musuh sehingga mengalir darah dan dia tetap ruku dan sujud melanjutkan sholatnya (Dan ini adalah riwayat yang shohih, shohih Abu Dawud no 193, lihat tamamul minnah hal 51 ). (Lihat al-fiqh al-islami 1/ 267-269)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa muntah membatalkan wudhu. Dalilnya :
Namun ini adalah pendapat yang lemah sebab yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (kalaupun haditsnya shohih) hanyalah sekedar fiil dan tidak menunjukan wajib. (Syarhul mumti' 1/224-225)
2. Tidur
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى عَهْدِهِ يَنْتَظِرُوْنَ العِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ
ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلاَ يَتَوَضَّئًوْنَ
Dari Anas bin Malik, berkata : Adalah para sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu sholat isya' hingga terangguk-angguk kepala mereka kemudian mereka sholat tanpa berwudhu. (Hadits shohih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan asalnya adalah lafal Muslim, Irwaul Golil no 114)
Dan diriwayatkan oleh Thirmidzi dari jalan Syu'bah :
لَقَدْ رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ يُوْقَظُوْنَ لِلصَّلاَةِ حَتَّى لأَسْمَعَ لأَحَدِهِمْ غَطِيْطًا، ثُمَّ يَقُوْمُوْنَ فَيُصَلُّوْنَ
وَلاَ يَتَوَضَّئُوْنَ ، قَالَ ابْنُ المُبَارَكِ : هَذَا عِنْدَنَا وَهُمْ جُلُوْسٌ
وَلاَ يَتَوَضَّئُوْنَ ، قَالَ ابْنُ المُبَارَكِ : هَذَا عِنْدَنَا وَهُمْ جُلُوْسٌ
Sungguh aku telah melihat para sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangunkan untuk sholat hingga aku sungguh mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun lalu sholat dan mereka tidak berwudhu. Ibnul Mubarok berkata : Ini menurut kami, mereka (tidur) dalam keadaan duduk.
Ada khilaf diantara para ulama tentang masalah ini:
Ada khilaf diantara para ulama tentang masalah ini:
Dan jika tidurnya lelap dan tidak dalam keadaan duduk maka batal sebagaimana hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرَ أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِهِنَّ
إِلاَّ مِنْ جَنَابَة، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
إِلاَّ مِنْ جَنَابَة، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
Dari Sofwan bin 'Asal berkata :"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah dilepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur".(Hadits shohih riwayat Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi , Irwaul Golil no 104)
Dengan demikian terjama'kanlah semua dalil. (Taudlihul Ahkam 1/225)
Mereka berdalil dengan hadits Sofwan bin 'Asal di atas yang menunjukan bahwa tidur membatalkan wudhu secara mutlaq karena Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperincinya. Demikian pula dengan hadits :
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَالْيَتَوَضَّأْ
Dari Mu'awiyah berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;"Mata adalah pengikat lingkaran dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya dia berwudhu" (Hadits hasan , irwaul golil no 113)
Bantahan terhadap pendapat kedua :
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani yaitu adanya riwayat yang lain dari Abu Dawud dengan sanad yang shohih :
كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ يَضَعُوْنَ جُنُوْبَهُمْ فَيَنَامُوْنَ، فَمِنْهمْ مَنْ يَتَوَضَّأُ وَمِنْهُمْ مَنْ لاَ يَتَوَضَّأُ
Adalah para sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaringkan lambung-lambung mereka lalu mereka tidur, maka diantara mereka ada yang berwudhu dan ada yang tidak berwudhu.
Dan lafal ini يَضَعُوْنَ جُنُوْبَهُمْ (membaringkan lambung-lambung mereka) bertentangan dengan lafal تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ (terangguk-angguk kepala mereka) yang menunjukan mereka tidur dalam keadaan duduk. Oleh karena itu kita katakan hadits ini mudtorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, atau kita jama'kan dua lafal ini yaitu sebagian mereka (para sahabat) tidur dalam keadaan duduk dan sebagian yang lain dalam keadaan berbaring, sebagian sahabat ada yang berwudhu dan sebagian yang lain tidak, dan penjama'an ini lebih benar. Dengan demikian maka ini merupakan dalil bagi yang mengatakan bahwa tidur tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak (yaitu pendapat jumhur –pent). Namun ini bertentangan dengan hadits Sofwan bin 'Asal yang marfu' kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih rojih daripada hadits Anas ini yang maquf. Dan bisa jadi juga hadits Anas ini sebelum diwajibkannya berwudhu karena tidur.
Bantahan terhadap pendapat pertama :
Pendapat bahwa tidur bukanlah pembatal wudhu tetapi tempat kemungkinan timbulnya hadats maka kita katakan : Ketika perkaranya demikian maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan semua orang yang tidur untuk berwudhu walaupun tidur dalam keadaan duduk karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mata adalah pengikat lingkaran dubur. Jika mata tertidur maka lepaslah ikatan itu. Dan orang yang tidur dalam keadaan duduk telah terlepas ikatannya walaupun dalam sebagian keadaan, misalnya dia miring ke kiri atau ke kanan.
Dan inilah pendapat Ibnu Hazm dan Abu 'Ubaid Al-Qosim bin Salam tentang kisahnya yang bagus yang dihikayatkan oleh Ibnu Abdil Bar, beliau (Abu 'Ubaid Al-Qosim bin Salam) berkata :
"Aku berfatwa bahwa barang siapa yang tidur dalam keadaan duduk maka tidak wajib wudhu baginya, sehingga pada suatu hari jum'at ada seorang laki-laki yang duduk disampingku dan dia tidur, lalu dia buang angin. Maka aku berkata :"Berdiri dan berwudhulah", dia berkata :"Aku tidak tidur", Aku berkata :"Bahkan engkau telah buang angin yang membatalkan wudhu!", Maka diapun bersumpah dengan nama Allah ta’ala bahwa dia tidak buang angin dan berkata kepadaku : "Justru engkau yang buang angin". Maka hilanglah apa yang aku yakini tentang tidurnya orang yang duduk (tidak membatalkan wudhu), dan aku meyakini bahwa orang yang tidur dan hatinya telah tidak sadar (maka membatalkan wudhu, meskipun dalam keadaan duduk) (Tamamul Minnah hal 101)
Namun perlu diperhatikan bahwa tidur dan ngantuk berbeda. Tidur menutup hati untuk mengetahui keadaan hal-hal yang dzohir, sedangkan ngantuk memotong hati untuk mengetahui hal-hal yang batin (adapun yang dzohir masih dikenali). Dan orang yang ngantuk tidak diwajibkan wudhu bagaimanapun berat ngantuk tersebut karena orang yang ngantuk masih bisa merasakan jika dia buang angin.
Kehilangan akal. Yaitu hilangnya akal (tidak sadar) dengan cara apapun seperti gila, pingsan, dan mabuk karena orang yang dalam keadaan demikian tidak mengetahui apakah wudhunya batal atau tidak. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 45). Jika tidur membatalkan wudhu maka pingsan dan gila lebih membatalkan lagi.
3. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang
Untuk masalah ada empat pendapat dikalangan para ulama
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ : قَالَ رَجُلٌ مَسَسْتُ ذَكَرِي، أَوْ قَالَ : الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِيْ الصَّلاَةِ ، أَعَلَيْهِ الوُضُوْءُ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ :لاَ، إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ
Dari Tolq bin Ali berkata :"Seorang laki-laki berkata : “Aku telah menyentuh kemaluanku”, atau beiau berkata : "Seorang laki-laki menyentuh kemaluannya dalam sholat, apakah atasnya wudhu ?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, dia hanyalah bagian dari tubuh engkau"
عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَالْيَتَوَضَّأْ
Dari Busroh binti Shofwan berkata : Adalah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barang siapa yang menyentuh dzakarnya maka hendaklah dia berwudhu”.
Sedangkan hadits Tolq diatas ada lafal (menyentuh kemaluannya dalam sholat), tidak batal wudhunya karena dia menyentuhnya dengan penghalang, sebab bukan tempatnya orang menyentuh kemaluannya dalam sholat tanpa penghalang. (Taudlihul Ahkam 1/236). Lagipula hadits Tolq diperselisihkan oleh para ulama akan keshohihannya.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ وَ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا حِجَابٌ
وَلاَ سَتْر فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ
وَلاَ سَتْر فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya dan tidak ada hijab dan juga penutup antara tangannya dan farjinya tersebut maka wajib atasnya wudhu. (Hadits dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohihul jami’ no 359 dan Nailul Author 1/199)
Kesimpulannya, sebagaimana perkataan Syaikh Utsaimin : “Seseorang jika menyentuh kemaluannya (dengan syahwat atau tanpa syahwat) maka disunnahkan agar dia berwudhu Namun pendapat akan wajibnya (berwudhu jika menyentuh dengan syahwat) sangat kuat, namun saya tidak menjazemkan (memastikan) hal ini. Namun untuk hati-hati hendaknya dia berwudhu”. (syarhul Mumti’ 1/ 234)
Apakah hukum menyentuh dubur sama dengan menyentuh kemaluan ?. Hukumnya adalah sama, karena dubur masuk dalam dengan keumuman lafal فَرْجٌ hadits Abu Ayub dan Ummu Habibah
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barang siapa yang menyentuh farjinya (secara bahasa farj artinya lubang -pent) maka hendaklah dia berwudhu. (Hadits shohih, irwaul golil no 117).
Dan juga hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu diatas.
Perhatian :
Dari hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu diatas bisa diambil mafhum mukholafah bahwa jika menyentuhnya tidak dengan menggunakan الكَفُّ (tangan dari jari-jari hingga ke pergelangan tangan, karena jika lafal اليَدُ di-itlaqqan (dimutlakkan) maka maknanya adalah الكَفُّ ). Namun madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa tidaklah membatalkan wudhu kecuali jika menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Sehingga menurut beliau menyentuh kemaluan dengan pungung tangan tidaklah membatalkan wudhu. Beliau berdalil dengan lafal الإِفْضَاءُ dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu yang menunjukan penyentuhan dengan telapak tangan. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan juga Ibnu Hajar, sebab makna الإِفْضَاءُ adalah الوُصُوْلُ (sampai) dan ini lebih umum bisa sampai ke kemaluan dengan telapak tangan atau dengan punggung tangan. (Nailul Author 1/199).
4. Menyentuh wanita
Ada khilaf diantara para Ulama
Pendapat pertama : Batal wudhunya jika menyentuhnya dengan syahwat. Dalilnya :
فَقَدْتُ النَّبِيَّ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ أَطْلُبُهُ بِيَدَيَّ فَوَقَعَتْ عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ سَاجِدٌ
Aku kehilangan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam, maka akupun mulai mencarinya dengan kedua tanganku. Maka tanganku berada (menyentuh) pada kedua kakinya yang tegak dan beliau dalam keadaan bersujud.(Hadits shohih Muslim no 486 dan An-Nasai 1/101)
Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatalkan sholatnya. Kalau seandainya sekedar menyentuh wanita tanpa syahwat membatalkan wudhu, tentu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah membatalkan sholatnya ketika itu.
Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatalkan sholatnya. Kalau seandainya sekedar menyentuh wanita tanpa syahwat membatalkan wudhu, tentu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah membatalkan sholatnya ketika itu.
Pendapat kedua: Batal wudhunya walaupun menyentuh wanita tanpa syahwat, dalilnya :
Pendapat ketiga : Tidak batal wudhu secara mutlaq, walupun menyentuh wanita dengan syahwat bahkan walaupun farji menyentuh farji. Dalilnya :
5. Memandikan mayat
Ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Batal wudhunya, dalilnya:
Pendapat kedua (merupakan pendapat Ibnu Taimiyah): Tidak batal wudhu, dalilnya :
Pendapat pertama setuju bahwa jika kita memandikan orang lain yang masih hidup (mungkin karena sakit) maka wudhu kita tidak batal. Maka demikian pula ketika kita memandikan dia setelah mati, tidak membatalkan wudhu.
6. Memakan daging unta
Ada khilaf diantara para ulama
Pendapat pertama: Batal wudhunya, dalilnya
عَنْ جَابِرٍ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ : أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَمِ ؟قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ
وَ إِنْ شِئْتَ فَلاَ تَتَوَضَّأْ. قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ ؟ قَالَ : نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ. قَالَ :
أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَالَ : أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الإِبِلِ ؟ قَالَ :لاَ
وَ إِنْ شِئْتَ فَلاَ تَتَوَضَّأْ. قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ ؟ قَالَ : نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ. قَالَ :
أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَالَ : أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الإِبِلِ ؟ قَالَ :لاَ
Dari Jabir bin Samuroh bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah saya berwudhu karena (memakan) daging kambing?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Kalau kamu mau maka berwudhulah dan kalau tidak maka janganlah berwudhu”. Dia berkata :”Apakah saya berwudhu karena (makan) daging unta?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, berwudhulah karena (makan) daging unta!”. Dia berkata : ”Apakah saya (boleh) sholat di kandang kambing? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Ya”. Dia bertanya : “Apakah saya (boleh) sholat di kandang unta?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak”. (Hadits riwayat Muslim no 360)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkaitkan wudhu jika makan daging kambing dengan masyi’ah (pilihan), hal ini menunjukan bahwasanya jika daging unta tidak ada pilihan lain.
Pendapat kedua : Tidak batal wudhu, dalilnya :
كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ تَرْكُ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
“Perkara yang terakhir (yang dipilih oleh) Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua perkara adalah meninggalkan wudhu karena (memakan) apa-apa yang terkena api”.
Dan perkataan (apa-apa yang terkena api) adalah umum mencakup unta, dan hadits ini merupakan nasikh bagi hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang pertama
Pendapat ketiga : Hukum berwudhunya hanyalah sunnah (inilah pendapat Imam Syaukani), dengan dalil bahwasanya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan suatu perkara kemudian beliau menyelisihinya maka menunjukan bahwa perintah tersebut tidaklah wajib.
Dan yang rojih adalah pendapat yang pertama.
Bantahan terhadap pendapat kedua dan ketiga :
Pendapat yang menyatakan perintah berwudhu karena memakan daging unta hanyalah sunnah adalah lemah. Sebab sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup perkataan dan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau menyelisihi perkataan beliau maka jika bisa dijamakkan maka tidak kita bawakan pada khususiah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita diperintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan beliau. (Syarhul Mumti’ 1/247-250)
Apakah yang membatalkan wudhu itu hanya daging (otot)nya saja atau termasuk juga hati, jantung, dan yang lainnya. Ada khilaf diantara para ulama. Diantara mereka ada yang menyatakan bahwa hanya daging yang membatalkan wudhu, dalilnya :
Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh unta kalau dimakan maka akan membatalkan wudhu, dalilnya :
7. Apa-apa yang mewajibkan mandi
Seluruh yang mewajibkan mandi (seperti keluarnya mani, bertemu dua khitan, mati, dll) maka mewajibkan wudhu. Ini adalah koidah, oleh karena itu perlu diketahui apa-apa saja yang mewajibkan mandi karena hadats besar mencakup hadats kecil. Contohnya keluarnya mani mewajibkan mandi, dan dia keluar dua jalan (qubul dan dubur) maka dia juga membatalkan wudhu. Namun koidah ini masuh perlu diteliti lagi, sebab Allah ta’ala berfirman :(Dan jika kalian junub maka bersucilah), maka Allah ta’ala mewajibkan orang yang junub untuk mandi saja, dan tidak mewajibkan mencuci empat anggota wudhu, oleh karena itu apa saja yang mewajibkan mandi maka dia hanya mewajibkan mandi kecuali ada ijmak atau dalil yang menyelisihinya. Oleh karena itu yang rojih adalah seorang yang junub jika dia berniat mengangkat hadats maka sudah cukup, dan tidak ada hajat untuk berniat mengangkat hadats kecil. (Syarhul mumti’ 1/255-256)
Demikianlah perkara-perkara yang bisa membatalkan wudhu.
Jika seseorang telah bersuci, kemudian timbul keraguan apakah dia telah berhadats atau tidak, maka kembali pada keyakinannya bahwa dia telah bersuci dan dia meninggalkan keraguannya itu.
Contohnya seseorang telah berwudhu untuk sholat magrib, ketika adzan isya’ dan dia hendak sholat isya’ dia ragu apakah wudhunya telah batal atau belum. Maka dia kembali pada asalnya yaitu dia telah berwudhu. Contoh yang lain, seseorang bangun malam lalu dia mendapati bahwa pada celananya ada yang basah namun dia merasa tidak bermimpi, dan dia ragu apakah yang basah itu mani atau bukan, maka dia tidak wajib mandi karena asalnya dia tidak mimpi.
Kalau seseorang melihat pada celananya ada bekas mani, namun dia ragu apakah ini mani semalam atau mani dari malam-malam sebelumnya. Maka hendaknya dia menganggap bahwa itu adalah mani semalam karena ini sudah pasti, sedangkan malam-malam sebelumnya masih diragukan dan dia menqodlo sholat-sholat yang ditinggalkannya semalam. Dalilnya :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلاَتِهِ فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيِّلُ إِلَيْهِ
أَنَّهُ أَحْدَثَ وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
أَنَّهُ أَحْدَثَ وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Syaiton mendatangi salah seorang dari kalian ketika dia sedang sholat lalu meniup duburnya maka dia khayalkan kepadanya bahwa dia telah berhadats padahal dia tidak berhadats. Jika dia mendapati hal itu maka janganlah dia berpaling (membatalkan) sholatnya hingga dia mendengar suara atau dia mencium bau”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bazzar, dan asal hadits ini ada di shohihain dari hadits Abdullah bin Zaid y. Dan dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu semisal hadits ini).
Dan Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id secara marfu’ :
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فَقَالَ : إِنَّكَ أَحْدَثْتَ، فَلْيَقُلْ : كَذَبْتَ
Jika syaiton datang kepada salah seorang dari kalian dan berkata “Sesungguhnya engkau telah berhadats” maka hendaknya dia berkata :”Engkau dusta”
Ibnu Hibban juga mengeluarkannya dengan lafal فَلْيَقُلْ فِي نَفْسِهِ (Hendaknya dia mengucapkannya dalam hatinya).
Demikian pula sebaliknya jika dia yakin telah berhadats lalu dia ragu apakah dia telah bersuci atau belum maka asalnya dia tetap berhadats. Dan ini adalah qiyas ‘aks yang dibolehkan dalam syari’at. (Syarhul Mumti’ 1/258)
Dan jika timbul keraguan setelah selesai melakukan ibadah maka tidak ada pengaruhnya keraguan tersebut sama sekali. Misalnya seseorang berwudhu kemudian dia ragu apakah dia telah berkumur-kumur?, atau setelah selesai sholat dia ragu apakah dia telah membaca surat al-fatihah?, atau dia hanya sujud sekali?, maka janganlah ia memperhatikan keraguan tersebut, karena asalnya adalah ibadahnya sah. Dan ini berlaku untuk semua ibadah. (Taudlihul Ahkam 1/256)
G. Menyentuh Mushaf
Wajibnya wudhu jika ingin menyentuh mushaf
Khilaf diantara para ulama,
Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudhu jika menyentuh mushaf, dalilnya :
أَبُو بَكْرٍ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرٍو بْنِ حَزْم عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا وَفِيْهِ
"لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِر"ٌ
Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya :(Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits shohih, irwaul golil no 122)
Syaikh Utsaimin pada mulanya condong kependapat Daud Adz-Dzohiri (akan disampaikan setelah ini), namun setelah beliau memperhatikan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi mengungkapkan mukmin dengan tohir karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tohir. (Syarhul Mumti’ 1/265)
Dan ini adalah pendapat imam Ahmad, sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :
Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) :”Apakah seorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa wudhu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berwudhu.”
Ishaq berkata :”(Hukumnya) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad karena telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabiin”.
Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan yang shohih dari para sahabat yaitu yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf dihadapan Sa’ad bin Abi Waqos, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad :”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata :”Ya”, maka dia berkata :”Berdirilah dan berwudhulah”, maka akupun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan Baihaqi darinya dengan sanad yang shohih. (Irwaul golil 1/161)
Adapun kitab-kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa wudhu sebab jumlah tafsirnya lebih banyak dibandingkan jumlah Al-Qur’annya. Dan demikan pula dengan kitab-kitab yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya namun jumlahnya sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab kepada orang-orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)
Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudhu bila menyentuh mushaf, dalilnya :
كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Adalah Nabi berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
a. Bermakna orang mukmin, sebagaimana firman Allah ta’ala
إِنَّمَا الْمُشْرِكِيْنَ نَجْسٌ , dan hadits إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah)
b. Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kucing إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ
c. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
d. Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ (Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)
Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.
MAROJI’ :
Nailul Author, Asy-Syaukani
Roudlotun Nadliah, Syaikh Sidiq Hasan Khan
Syarhus Sunnah, Imam Al-Bagowi
Irwaul Golil, Syaikh Al-Albani
Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani
Sifat wudhu Nabi , Fahd bin Abdirrohman Ad-Dausi
Taudlihul Ahkam, Syaikh Ali Bassam
Al-Fiqh al-Islami, DR. Wahb Az-Zuhaili
Thuhurul Muslim, Syaikh Al-Qohtoni
Syarhul Mumti,’ Syaikh Utsaimin
oleh: Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja